Sosok baru

10 Februari 2019.


Tepat 3 minggu kau tak menyapa. Ragamu semakin angkuh diatas kenyataan hatimu yang belum juga luluh. Aku mulai ragu untuk bisa hidup panjang bersamamu. Apa yang membuatmu sanggup bertahan untuk tidak merindu disaat aku sangat pilu menunggu datangmu...

Hatiku semakin remuk membayangkan wajahmu yang hanya bisa kunikmati di galeri. Bahkan aku tak kau izinkan untuk melihat linimasamu setelah hampir 7 bulan. Yang tumbuh di kepalaku saat ini hanyalah, kau hanya tak berani menyatakan perasaanmu yang takut menyakitiku. Yang kuyakini, kau sedang perlahan berjalan mudur sampai aku mulai terbiasa dengan ketiadaanmu. Hatiku tidak memberikan pilihan yang lain selain tetap mencinta. 

Malam malamku selalu terisi doa doa panjang untuk kita. Diantara perumpamaan yang terlintas dikepala, mataku tetap terjaga, menunggu wajahmu enggan sirna. 

Semestaku berjalan semestinya. Hingga aku bertemu sosok yang hampir menyerupaimu. Hangat, menenangkan, membuatku merasa aman. Akupun tak banyak mencari tahu mengapa hatiku dengan mudahnya kalah. Kalah dan memilih jatuh ke pelukan yang salah. Meski kutahu ini hanya jebakan terbaik yang menawarkan kebahagiaan sesaat. Sosok ini telah mampu menembus pertahananku yang selama ini tertutup rapat oleh sempurnamu. Aku hanya bisa pasrah membiarkan perjumpaan kita dimulai. 

Ada sesuatu yang tumbuh diam diam, diam diam aku merasa nyaman, diam diam aku merasa digenggam, diam diam aku membutuhkannya berlebihan. Sungguh semesta berubah kembali menjadi indah semenjak kehadirannya. Walau kenyataannya hati tak secepat itu berpindah, aku tetap membiarkan hatiku jatuh sejatuh jatuhnya. Aku telah memaksakan diriku untuk jatuh cinta kembali, kepada siapapun yang mau berjuang membuatku tersenyum saat ini. 

Dorongan paling keras datang dari mulut manismu yang terbual tepat didepan mukaku pada awal November tahun lalu. Untuk pertemuan yang telah susah payah kutanggalkan itu, ditengah tengah keraguan yang membuncah kau menyarankanku untuk mencari orang lain sebagai penggantimu. Takut menyakitiku, katamu. Sebelum kau sadar, aku ingin berkata bahwa kata katamu telah sangat melukai perasaanku lebih dulu. Dorongan lain adalah, kamu juga mulai perlahan membuka diri untuk sosok baru yang katamu hampir menyerupaiku. Semakin lama kau membiarkanku menerka nerka tanpa kepastian, semakin kuat pikirku mengira bahwa hal yang aku takutkan benar benar terjadi. Aku tak bisa mengelak, satu persatu perkataanmu hanya membuatku semakin sesak. 

Pikirku saat ini, biar saja aku memberikan seluruh perasaan kepada orang yang jelas jelas membutuhkan.  Kamu? Tidak butuh. Biarkan kuberikan perasaanku pada sosok lain dan kamu tinggal bertepuk tangan karena aku telah memenuhi maumu. Sedang kamu, memilih pergi untuk kepentinganmu sendiri. Bukan untuk rencanamu mendewasakan kita. Meski kamu tidak benar benar pergi, nyatanya kamu punya senjata sakti yang terlatih untuk terus menyakiti. Kamu tak memberikanku pilihan, kamu hanya membiarkanku terus kesakitan. Tak ada kejelasan dan ketegasan, kamu tetap sadar untuk tidak sadar. Koreksi jika ada kata kataku yang salah.

Lalu bagaimana tidak, dia telah menggantikan sosokmu. Tidak mudah mencintai manusia lain, yang mudah hanyalah membiasakan diri untuk membutuhkan sosok lain. Karena perasaan itu hanya butuh terlatih. 

Hari berganti petang, senja berganti malam. Yang ada di kepalaku hanyalah kamu. Maka kujadikan dia sebagai penghibur diri agar kepalaku tidak terus terusan terisi senyum yang kerap kamu lemparkan dulu. Kalau bukan hati yang terasa sepi, mana mungkin aku sanggup membohongi hati seakan siap mencintai kembali. 

Komentar

Postingan Populer