Yang pergi tak akan menepi lagi

10 Maret 2019.


Kehadiran sosok baru membuatku yakin bahwa bahagia bukan bersumber dari satu hati saja. Namun ia akan datang dari manapun asalanya. Aku juga percaya, semua yang terasa bahagia akan menjemput kesedihan yang telah menunggu, begitupun kesedihan yang telah lama berdiam diri siap merangkul kebahagiaan lain.

Dan aku kecewa lagi. 

Dikecewakan oleh sosok yang baru saja kupuji akhir akhir ini. Perlakuan yang menyakiti cukup membuatku berhenti tak akan pernah ku lanjutkan lagi. Kepalaku penat, terbangun dari atas kasur yang sesaat berubah menjadi keras semalaman panjang. Air mataku terus bercucuran membasahi bantal yang menopangku sedari pagi ketemu pagi. Aku menolak semua hal yang mengelilingku. Sungguh sangat kecewa dan membekaskan luka begitu hebat. Mungkin aku tidak akan pernah mau memandang wajahnya lagi.

Begitu banyak yang ingin kusalahkan. Kamu, dia, aku atau semesta yang mengelilingi. 

Kepalaku dipenuhi dengan “kenapa” dan “coba saja” mengepul diatas terik matahari yang sedikit bersembunyi di ujung awan. Hanya air mata yang terus berlarian turun menghujani pipi dengan gembira. Berulang kali aku coba mengetik namamu untuk menceritakan semua kekecewaanku, tapi itu hanya akan membuatmu marah karena ini semua salahku. 

Aku menangis sejadi jadinya mengingat keras wajahmu dan seemua perlakuan manismu. Berhak kau salahkan diriku yang bodoh ini karena telah menyakitimu dan sadar bahwa kebahagian yang kuputuskan kemarin benar benar telah menamparku dengan bijaksana. Sungguh, aku sangat rindu kamu. Andai saja kamu tau dia telah berani menyakitiku, kamu pasti akan memukul wajahnya sekeras mungkin.



Sayang, aku butuh pundakmu malam ini.


-

Dua hari telah berlalu, aku tak mau beranjak dengan keterpurukan yang memenjarakan segala isi hatiku. Hari ketiga, aku mulai sadar bahwa aku adalah manusia paling egois. Aku adalah makhluk paling bodoh yang telah bermain main dengan hati. Menanam benih beracun dan menuai pahitnya yang mematikan.

Bodoh.

Manusia bodoh tak tahu diri.

Yang ada di kepalaku hari ini hanya sejuta penyesalan telah membiarkan diriku jatuh ke jurang paling dalam dan rasa bersalah yang menamparku saat mengingat semua kebaikanmu. Maka, akan terlalu egois jika aku memintamu untuk memaafkan kesalahanku kali ini. Dan setelah tertegun panjang dalam keheningan, aku memutuskan untuk mengungkapkan semuanya apapun resiko yang bakal terjadi. Ternyata aku hanya butuh diriku sendiri. Bukan kamu ataupun dia. Dan aku akan melepaskanmu...

Namun malam ini aku masih tetap egois hanya karena kamu belum siap berpisah. Aku tidak berani menolak untuk memulai kembali perjalanan kita. Padahal aku sangat telah mengecewamakan. Aku tau peristiwa ini sangat menyakitimu, membayangkan kamu mendengar kabarku bersama sosok lain. Maafkan aku. Meski dini hari obrolan panjang telah selesai dan masalah selesai. Aku tetap dihantui rasa ketakutan.

-

Sulit untuk meninggalkan sesuatu yang telah familiar di sekeliling kita. Melepaskan keterikatan dengan orang orang yang pernah ada didekatmu adalah hal yang sangat sulit. Ya, aku sulit melepaskan kebiasaanku komunikasi bersama sosok baru itu. Bukan rindu manusianya, tapi rindu kebiasaannya. Aku tak mungkin kembali padanya. Tapi tak semudah itu membiarkan diriku menyendiri karena terlatih bergantung kepada makhluk lain. 

Beberapa minggu setelah peristiwa itu, hati dan pikiran masih belum stabil. Masih mudah terguncang. Masih sangat goyah. Bahkan aku berpikir untuk mencari pengganti yang lain untuk menyembuhkanku lagi. Tanpa aku sadar bahwa aku telah menjatuhkan diriku lagi ke dasar yang paling hina. Aku telah menginjak injak harga diriku sendiri, membiarkan ego dan kebodohan menertawakanku. Hal ini juga telah membuatmu kembali membenciku. Meski saat kita bertemu, kamu memberitahuku bahwa ternyata kamu lebih dulu bertemu sosok baru yang menghiburmu. Sampai sampai berani mengajakmu ‘minum’. Jujur kali ini aku sangat khawatir dengan isi kepalamu dan kesehatanmu. Inilah resiko jika kita berjauhan. Aku tak bisa memastikan setiap yang kamu lakukan.

Dan aku sendiri lagi.

Sekarang aku mulai paham, bahwa selama ini aku telah gagal memaknai keberadaan diriku sendiri. Aku selalu sengaja menggantungkan diriku pada orang lain yang secara tidak sadar membuatku menjadi manusia yang tidak akan sama sekali berharga. Aku melompat dari satu hati ke hati yang lain. Dan tidak akan ada habisnya. Padahal hal buruknya akan menimpaku sendiri. Sedang mereka, berlari untuk meraih cita-cita dan aku masih begini begini saja. Baik, kali ini aku mengerti.



Untukmu,
Aku tengah mengkhawatirkanmu jika kamu bertemu sosok baru namun tak membawamu ke jalan yang baik. Tapi pada akhirnya, itu pilihanmu sendiri. Apa yang kamu tanam akan kamu tuai sendiri. Begitupun apa yang telah kutanam. Maaf jika aku telah mengecewakanmu sebesar ini. 

Untuk dia,
Terimakasih telah membantuku terlibat dalam masalah besar. Kenangan tidak ada yang buruk, aku akan tetap membuatnya hidup di kepalaku. Dari mana aku belajar kalau bukan dari belakang? apapun wujudnya sekarang, ia pernah berperan penting untuk membentuk karakterku hari ini.

Komentar

Postingan Populer