Bandung gagal membuatmu rindu

Aku tersungkur diujung penolakan yang lantang kamu lontarkan di bawah langit Jakarta yang berbeda. Tanpa ragu, kamu memamerkan ketidak tertarikanmu berangkat ke Bandung denganku...


Ribuan hari kumimpikan untuk berada di Bandung. Berada di tengah padatnya udara Asia Afrika, teriknya matahari Lodaya yang marah karena polusi tak mau mengalah. Sejuk yang  menenangkan hati karena ku tahu jarak kita tak pernah jauh pada masa indah itu. Aku rindu berteduh di langit Bandung dengan hujan air mata yang deras tak beralasan. Aku rindu membaca gambar dan nama setiap spanduk warung yang berderet tak berujung. Memilih makanan mana yang kuputuskan menumpuk sesal setiap malam karena terlanjur tumpah ke perut😂. Aku rindu merasa benci kepada angin Bandung yang menyapu bersih wajah kita sepanjang malam. Bermandikan minyak wangi dan merapihkan helm untuk siap siap memutar jalanan Bandung. Sekurang kurangnya sampai dini hari. Sungguh rindu. Rindu Bandung. Yang pada kenyataannya..


Aku rindu di Bandung,
bersamamu.


Kamu  merasa bangga dan berharga dengan matahari dan senja Jakarta atau kota lainnya yang tak pernah kamu lewatkan bersamaku. Kamu terus berkelit di tengah padatnya pekerjaanmu. Sekuat tenaga menjelaskan rumitnya waktu di tengah kesibukanmu yang tidak ada ujungnya. Waktu istirahat yang tak cukup, badanmu yang lelah, kepalamu yang penat. Kamu sibuk mencari cari kegiatan agar tidak ada sedikitpun waktumu yang ku ambil. Terkahir, kau hanya memberikan 2 jam dari 24 jam tanggal merahmu yang jelas jelas kosong hari itu. Telinga dan bahumu saja enggan kupinjam.


Tidak apa apa, sayang.


Aku paham, menyenangkan itu tidak bisa dipaksakan. Aku mengerti dengan aku yang penuh kurang ini adalah alasanmu terus tak tertarik membagi waktumu lagi untukku. Aku yang sedikit tawa dan pelit canda, si penumpah air mata yang lagi lagi tak berharga. Yang membawa luka sebagai satu satunya rasa. Mungkin sekali, jika aku tak begini, kamu tak akan lari, dan memilih teman temanmu yang kamu anggap sehati.


Tapi bukan sekedar mimpi, kamu wajib tahu, bahwa di dasar lubuk hatiku yang paling dalam, aku mengerti kondisimu. Kebahagiaanmu adalah satu satunya tujuanku tertatih tatih menahan rasa sepi sendirian. Membaca satu persatu kebahagiaanmu karena terbebas dari penjara aturanku adalah alasanku mensyukuri senyum yang pernah kita ukir bersama.

Aku tau waktu telah berjalan begitu lama, aku mengerti semuanya telah berubah. Sedetik saja tolong kau ingat kita yang dulu. Paling tidak kau ingat kita pernah tetap mencintai Bandung walau ia tak pernah meminjamkan senjanya yang sekian lama kita pernah nanti. Kini kita bercerita di tempat yang berbeda, semoga rasamu tetap sama. Semoga hari baru dan atmosfir baru tak menyapu bersih kenangan kita di sudut hatimu yang paling dalam. Walau ada hembusan sesak yang lirih datang silih berganti. Membanting waktu ribuan kalipun masa masa itu sudah pasti tidak akan kembali :') Lalu...


Kubiarkan kau pergi sejauh apapun kau suka. Biarlah untaian doa yang menemani perjalananmu. Biarkan aku disini yang berpelukan dengan rindu yang beralaskan sepi. Tak ada sedikitpun niatku meenyakiti perasaanmu. Aku hanya rindu. Sungguh. Maka, biarkan rindu pula yang membawamu kembali.


Satu detik. Dua hari. Tiga minggu.


Rindu saja ternyata tak mampu mengajakmu pulang. Kesepian lebih baik bagimu ketimbang masuk perangkapku untuk membuat senyum palsu. Atau, kamu melanjutkan sepimu yang mungkin terisi senyuman lain. Aku? tak ada daratan untuk menepi, aku menuju senyummu kembali. Beruntungnya kamu yang tak pernah disinggahi rasa sepi. Atau mungkin hatimu telah benar benar terisi? Dan aku yang kepahitan bergelut dengan perasaanku sendiri.


Segelas kesepian kupaksa teguk memenuhi tenggorokan. Tak ada satupun yang bisa kulakukan. Selain menunggumu datang dan memutuskan untuk ke Bandung bersamaku pulang.

Kamu menghilang. Tanpa satu katapun yang tertuang.


Waktu memaksa ingatan untuk bertanya. Kamu dimana? Adakah satu titik rindu tajam yang menghunus tepat jantungmu. Lalu kau tenggelam jauh ke dalam jurang yang hanya ada penyesalanmu di dalamnya. Rindu yang membuatmu ingin lumpuh sebentar dalam waktuku. Rindu yang membuatku terus menyalahkan waktu. Aku membenci diriku yang dengan sadar melukai diri sendiri untuk tetap rindu.


Kamu berada di Bandung hari ini. Bersama teman temanmu.


Rasanya, aku benci nama nama kota mulai detik ini juga. Aku benci nama Bandung yang mulai bersemayam di otakku dan terus terusan kusalahkan. Aku yang menginginkan waktumu, kenapa Bandung mencurinya hari ini? Ini bukan kali pertama Bandung merebutmu. Bukan hanya itu, aku benci Bandung yang tiba tiba bisu, padahal dulu aku dan kamu pernah bertemu malu malu dan meninggalkan lubang manis di relung hati tepat dibawah langitnya yang abu. Bandung tidak berusaha menjelaskan itukah? Bandung lupa bahwa ia pernah membuat kita tertawa bersama tenggelam dalam waktu yang enggan berputar. Bandung memilih diam di ribuan kalimat bijak yang berlebihan. 


Iya, Bandung saja tak cukup membawamu pulang.

Komentar

Postingan Populer